TEBING BREKSI


        Selama bertahun-tahun, penambangan batuan kapur telah menjadi sumber pendapatan bagi penduduk sekitar. Mereka hidup dengan mengikis satu demi satu tubuh batu kapur tua itu. Peneliti gabungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) memeriksa Tebing Breksi pada tahun 2014, setelah volume awal yang tersisa hanya sepersepuluh. Hasilnya? Tebing Breksi dilarang ditambang lagi karena ditemukan batuan tufan yang langka.

Namun, sejarah Tebing Breksi sebagai sumber pendapatan bagi penduduk sekitar terus berlanjut. Setelah tidak lagi menjadi tambang, sejumlah kecil orang datang ke Breksi untuk menikmati senja dan iseng-iseng mempostingnya di sosial media. Dari sini, pengunjung mulai berdatangan secara bertahap. Hasil penggarapan Tebing Breksi sekarang jelas terlihat. Menjulang setinggi sekitar 30 meter, batuan kapur raksasa berlapis-lapis ini sudah dipahat dengan relief dan patung dari cerita pewayangan. Ada patung Arjuna yang membunuh Buto Cakil, patung naga dengan mahkotanya, dan patung Semar. Setiap karya pahatan yang dibuat oleh Anto, seorang pemuda yang tinggal di daerah tersebut, menunjukkan seorang seniman yang telaten dan sabar.

Anak tangga dibangun di sisi timur untuk kepentingan praktis naik ke tebing. Selain itu, dengan latar batuan kapur bermacam gradasi yang menjulang, di kawasan Tebing Breksi ada pula Tlatar Seneng serta amfiteater yang sering digunakan untuk kopi darat dan event nasional. Tlatar Seneng dengan bentuknya yang melingkar dan terbuat dari batu, langsung mengingatkan kita dengan teater tempat pertunjukkan drama dari zaman Yunani klasik.

Ada pula tawaran objek-objek swafoto seperti yang lazim sekarang ini. Di samping burung hantu jinak di tangga masuk, setidaknya ada dua belas objek swafoto yang diletakkan di punggung tebing utama berselang-seling dengan rerumputan, kembang, dan pohon-pohon. Lalu, seperti di Bukit Bintang atau Candi Ijo, ada pula tawaran memandang kota Yogyakarta dari ketinggian. Dari ketinggian Breksi, pucuk-pucuk tiga candi utama Prambanan, pesawat-pesawat hilir mudik di Adisucipto, serta jalanan dan lampu-lampu Yogyakarta menjadi suguhan lanskap yang memanjakan dan menjadi daya tarik wisatawan. Makin indah semua ini saat senja meluruh di langit: bila awan sedang sembunyi, matahari tunggang terlihat dengan semua kemegahannya terbenam di garis semu Yogyakarta.

Diantarai oleh kolam ikan berair hijau dengan warna-warni koi, jalur putih kapur, dan meja-meja payung di atas rumput, di sisi paling timur kawasan Breksi berjejer lapak-lapak kuliner yang menawarkan berbagai macam menu. Ada tongseng, rica-rica, dan soto. Namun, barangkali yang paling terkenal adalah ayam ingkung Bu Asih, yang meskipun jauh dari pusat ingkung di Bantul, tetap sering dikunjungi oleh pejabat-pejabat yang ingin menyantap ingkung dengan suasana Breksi.

Tebing Breksi sampai sekarang masih kontinu melakukan tahap pembangunan. Saat artikel ini ditulis, baru saja ditambahkan pahatan nama "Tebing Breksi" yang juga dikerjakan oleh Anto. Sementara itu, masih sedang dilakukan penambahan balok-balok kapur di jalur masuk agar saat hujan datang, bus-bus mini tidak anjlok. Ada pula pembangunan kebun buah dan fasilitas akomodasi di sebelah utara agar wilayah Tebing Breksi semakin lengkap. Kini Tebing Breksi telah menjadi tempat wisata yang juga menorehkan prestasi. Tebing Breksi yang resmi dibuka tanggal 30 Mei 2015 dengan penandatanganan prasasti oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, telah mendapatkan penghargaan sebagai Tempat Wisata Baru Terpopuler 2017. Hal ini pantas-pantas saja, sebab di musim liburan, Tebing Breksi memang bisa mencatat jumlah pengunjung beribu-ribu.



Komentar

Postingan Populer